Akhirnya pada hari Sabtu, 28 September 2013, kami memutuskan untuk pergi mencoba NURA. Setelah koordinasi lewat group di BBM akhirnya saya dan teman-teman berjumlah 14 orang berangkat.
Sekitar pukul 5.30 WIB, kita menyewa mobil pick up untuk mengangkut sepeda sampai di puncak. Mobil kami berhenti di masjid Gadog, dilanjutkan kami menyewa angkot untuk naik ke atas dengan tarif sewa satu angkot Rp150ribu. Perjalanan dengan angkot lumayan lancar dan tidak dihambat macet, sehingga sekitar pukul 8.00 WIB, rombongan kami sudah sampai di Warung Mang Ade, tempat berkumpul goweser yang mau gowes di track Rindu Alam.
Setelah semua berkumpul dan mempersiapkan sepeda, seperti biasa kami sarapan dulu di warung Mang Ade. Menunya juga selalu sama yaitu nasi goreng ala Warung Mang Ade. Lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan karena dari rumah tak sempat sarapan. Maklum untuk gowes ke Puncak.
Setelah sarapan pagi, kami mulai mempersiapkan diri untuk start gowes. Untuk gowes kali ini saya pake protector. Demi keselamatan saya rela merogoh kocek membeli protektor untuk melindungi kaki saya.
Untuk yang mau gowes di RA baik NURA maupun RA klasik, protektor ini menurut saya hukumnya wajib, sebab di track yang tergolong All Mountain ini resiko nyungsep cukup tinggi dan kalau nyungsep, batu makadam dan teman-temannya siap meninggalkan kenang-kenangan di kaki anda.
Setelah persiapan selesai kita berdoa bersama dan meluncur ke NuRA. Dipandu oleh beberapa teman yang telah pernah gowes di track tersebut.
Untuk ke NURA kita harus gowes di jalan raya menuju Puncak Pas. Setelah itu kita menyeberang dan ketemu tanjakan yang aduhai. Tanjakan ini adalah tanjakan aspal tapi bukan jalan raya dengan ketinggian dan jarak yang lumayan. Belum apa-apa kami sudah dipaksa mengeluarkan tenaga ekstra untuk menakhlukkan tanjakan ini.
Keluh kesah dan sumpah serapah pun muncul dari mulut teman-teman. Maklum dalam benak kami tanjakan baru akan kami temui di Ngehek, tapi ini baru start sudah ada “ngehek” nya. Sambil mengeluh semua tetap nanjak pelan-pelan. Beberapa teman yang tak biasa up hill menyerah dan memilih TTB. Di sini.
Setelah tanjakan berhasil ditaklukkan, di atas kami bertemu tulisan kecil tanda masuk jalur NURA. Jalur ini diawali dengan turunan tanah tajam di pinggir jalan aspal nanjak tadi. Jika saat tanjakan, teman-teman mengeluh, di turunan ini mereka tampak bahagia dan langsung meluncur. Kami satu-satu meluncur dengan member jarak agar tidak terjadi tabrakan di bawah.
Suara derit rem yang beradu dengan rotor menjadi suara pengiring kami menuruni NURA. Dalam benak berharap akan terus menurun sampai akhir. Tapi, harapan itu segera buyar saat berhadapan dengan tanjakan berlumpur dan sedikit bebatuan. Track ini memang cukup becek dan licin. Beberapa bagian tidak bisa digowes dan memaksa untuk TTB.
Kombinasi jalan licin, becek dan tanjakan ini menjadi menu utama sampai di tempat istirahat pertama. Nah sebelum tempat istirahat, ada kejutan lagi, yaitu tanjakan curam licin. Banyak yang menyebut tanjakan tembok. Di sini ada tanda arah track dan larangan motor trail melintas (berupa gambar motor trail dicoret).
Di atas tanjakan inilah tempat istirahat resmi dibuat. Ada kayu yang dikhususkan sebagai dudukan parkir sepeda dan tempat lapang untuk istirahat. Kami dan rombongan sepeda lain beristirahat sejenak di sini. Pemandangan dari atas sini cukup indah, apalagi pagi itu kabut menyelimuti sekitar daerah ini.
Setelah istirahat perjalanan dilanjutkan. Mulai dari sini jalurnya agak berubah. Di sini mulai terlihat turunan tanah dengan tebing tanah di kiri dan jurang di kanan. Tanah di sini cukup gembur dan licin, jurangnya pun terlihat cukup dalam. Kami pun gowes dengan hati-hati. Di beberapa tempat ada batang pohon melintang di tengah jalan.
Pengelola track juga memberi tanda di tempat-tempat yang bahaya berupa bendera kuning. Jalur yang becek ini cukup menyulitkan. Tanah liat cepat menyelinap dan menghambat putaran roda. Kondisi medan memaksa kami sering menuntun sepeda. Bahwa NuRA ini singkatan dari Nuntun Rame-rame.
Memang jika saya perhatikan di track yang licin ini banyak yang tidak memungkinkan digowes sehingga memaksa untuk TTB bersama-sama alias nuntun rame-rame. Jika ada kesempatan gowes, kami tak menyia-nyiakan dan langsung hajar, namun dengan kewaspadaan tinggi karena jurang di sebelah kanan seolah menanti.
Mas Reza Nyebur ke Jurang
Saat asik menggowes, tiba-tiba terdengar suara keras seperti benda jatuh. Buk gedebuk..gedebuk. Lalu disusul teriakan dari teman yang ada di belakang. “Tahan..tahan Reza jatuh..masuk jurang”. Saya kaget dan langsung meninggal sepeda dan menuju sumber suara.
Rupanya anggota rombongan kami Mas Reza jatuh masuk ke jurang. Dari cerita yang melihat, Mas Reza jatuh akibat kaki kanannya menginjak batu di tepi jurang dan batunya longsor. Akibatnya terjun bebas ke dalam jurang yang cukup dalam, sementara sepedanya terperosok juga ke jurang.
Teman-teman dengan cekatan mencari akar ranting pohon untuk membantu proses evakuasi. Syukur alhamdulilah, mas Reza dan sepedanya dapat diangkat ke atas. Dan kondisi fisiknya baik, tidak sampai cidra berat.
Di sini, kami baru sadar bahwa untuk turing dengan medan yang banyak jurangnya seperti ini, tali tambang penting untuk dibawa. Gunanya tentu saja untuk memudahkan mengevakuasi teman yang jatuh ke jurang atau sepedanya.
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Sambil gowes rupanya rombongan masih heran dengan kejadian dan keajaiban yang menimpa mas Reza.
Setelah melaju dengan kombinasi gowes dan nuntun rame-rame kami ketemu turunan yang asik. Baru saja melaju tiba-tiba ada seseorang yang mengingatkan agar mengurangi kecepatan. Benar saja turunan tajam berlumpur menunggu di depan. Hajar.. Lalu sampailah kita pada persimpangan. Di sini ada tanda pemilihan jalur. Tanda DH mengarah ke kiri yang menunjukkan arah ke track DH, dan tanda XC mengarah ke kanan yang menunjukkan arah ke track XC.
Di awal, terlihat arah ke XC lebih curam menurun. Ini agak menipu. Tapi saya lebih percaya ke tanda dan memilih XC. Mas Herry P yang suka main DH memilih ke kanan. Tapi jangan salah meski lebelnya XC, tapi di sini turunannya cukup heboh juga. Saat sedang asik meliuk-liuk turun, tiba-tiba sepeda saya terasa liar jalannya dari bagian belakang.
Gowes dilanjutkan, formulanya tetap sama gowes dan nuntun rame-rame. Sesekali harus berhenti membersihkan tanah yang membuat ban tak bergerak. Saya lihat beberapa orang dengan ban besar lebih kesulitan karena tanah akan lebih cepat membuat bannya macet. Di sini sepeda dengan rem V brake dijamin juga akan sulit. Bukan soal daya pengeremannya, tapi karena V brakenya bakalan panen lumpur dan memacetkan roda.
Kondisi track yang teduh, membuat tanah awet basah dan becek ketika dilewati banyak sepeda. Mungkin jika musim kemarau dan tanah agak keras, track ini akan enak dilewati tanpa harus banyak TTB atau memang akan terus seperti itu sehingga mempunyai karakter khas: nuntun rame-rame.
Setelah itu, semua langsung gowes di jalur turunan aspal. Nikmat sekali meluncur kencang. Namun harus tetap waspada karena banyak mobil dan motor yang kadang nyelonong. Sore hari kami sampai di kembali di Masjid Gadog. Saya tak mencuci sepeda karena sudah bersih saat di Gunung Mas. Akhirnya di sini kami berpisah dan kembali ke Jakarta dengan gembira karena sudah puas memuaskan penasaran mencoba jalur NURA.